Berita Terkini

Makanan Halal Semakin Berkembang di Singapura

Singapura, 8 Januari 2024 - Industri makanan halal di Singapura terus mengalami perkembangan pesat, memberikan pilihan yang lebih luas bagi ...

Sabtu, 11 Juli 2020

Jakarta, CNBC Indonesia - China akan membangun enam hingga delapan reaktor nuklir setiap tahun antara 2021 dan 2025, menurut laporan yang dikeluarkan oleh Asosiasi Energi Nuklir China tentang prospek pengembangan nuklir.

Kapasitas reaktor nuklir tersebut juga ditingkatkan menjadi 70 gigawatt (GW), atau naik 43,5% dibandingkan dengan kapasitas pada akhir Mei lalu, menurut laporan media China Daily pada Kamis (9/7/2020), yang dikutip dari Channel News Asia.

Asosiasi Energi Nuklir China juga mengatakan total kapasitas nuklir terpasang negara itu diperkirakan akan mencapai 52 GW pada akhir 2020. Namun jumlah tersebut jauh dari target 58 GW. Tetapi target dikatakan tetap bisa dipenuhi, sebab nantinya akan dibangun reaktor nuklir sekitar 200 GW pada 2035 mendatang.

Menurut angka dari Administrasi Energi Nasional, kapasitas nuklir China saat ini mencapai 48,8 GW pada akhir Mei, terhitung 2,5% dari total kapasitas pembangkitannya.

Lebih lanjut, laporan asosiasi tersebut menuliskan pada akhir 2019, China memiliki 47 unit tenaga nuklir yang beroperasi (tidak termasuk data wilayah Taiwan), dengan total kapasitas terpasang 48,75 GW, peringkat ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Prancis.

Setidaknya, Negeri Tirai Bambu tersebut akan memiliki 51 unit nuklir pada akhir 2020 dan lebih dari 17 berada di dalam pipa.

Pada 2019, pembangkit listrik tenaga nuklir negara itu mencapai 348,1 TWh, naik 18,9% YoY. Pada akhir tahun lalu, ada 13 unit nuklir yang sedang dibangun dengan total kapasitas 13,87 GW.

Pembangunan unit tenaga nuklir baru sebelumnya ditunda karena setelah delapan unit disetujui pada 2015, China tidak melakukan Greenlight proyek nuklir pada 2016 dan hanya ada satu proyek yang melanggar pada 2017. Proyek baru disetujui lagi pada 2018.

Ambisi energi nuklir China sendiri telah tertahan oleh penundaan beberapa proyek besar yang melibatkan teknologi, serta moratorium empat tahun pada persetujuan baru setelah bencana Fukushima di Jepang pada 2011.

Pembangunan reaktor nuklir baru ini, menurut laporan asosiasi, nantinya dapat memuaskan pertumbuhan permintaan tenaga di provinsi-provinsi pusat seperti Hunan, Hubei, dan Jiangxi dan memberikan kontribusi besar bagi pengembangan ekonomi lokal.

Saat ini, tenaga nuklir masih mengambil porsi kecil dari campuran energi di China. Pada akhir 2019, nuklir hanya menyumbang 2,42% dari total kapasitas terpasang, dan kapasitas pembangkit listrik pada 2019 kurang dari 5% dari total keseluruhan energi di China.

Pembangunan reaktor nuklir di China ini berpotensi membuat konsumsi batu bara di China turun drastis. Ada kemungkinan penggunaan pembangkit listrik dengan menggunakan batu bara berkurang. 

Harga batu bara acuan Newcastle untuk kontrak yang ramai diperdagangkan kembali melemah kemarin. Padahal sempat menyentuh level tertingginya dalam sebulan terakhir.

Kamis (9/7/2020), Harga batu bara ditutup melemah 0,91% ke US$ 54,55/ton. Dalam sebulan terakhir, harga batu bara bergerak dengan rentang terendah di US$ 52,1/ton dan tertinggi di US$ 56,05/ton.

Selain itu, tekanan terhadap harga batu bara datang dari berbagai arah. Di kawasan Asia Pasifik, permintaan terhadap batu bara lintas laut (seaborne) masih lemah.

India dan China mulai membatasi impor batu bara mereka dan beralih ke pasokan batu bara domestik. Penerapan kebijakan kuota impor oleh China membuat pasar batu bara domestik dengan seaborne mengalami diskoneksi.

Sementara itu dari Jepang dan Korea Selatan, permintaan terhadap batu bara juga melambat. Selain akibat pandemi Covid-19, musim dingin yang cenderung hangat juga jadi faktor lain yang jadi pemicu kebutuhan batu bara kedua negara tidak setinggi musim dingin biasanya.

Harga gas yang juga anjlok dalam serta pasokannya yang melimpah menjadi ancaman bagi komoditas batu bara. Negeri Ginseng dan Negeri Sakura berpotensi beralih dari batu bara ke gas karena lebih kompetitif dan dinilai lebih ekonomis.

Di sisi lain, penurunan konsumsi listrik untuk sektor industri dan komersial di belahan bumi Barat juga membuat kebutuhan batu bara menurun. Apalagi setelah pandemi, tekanan untuk beralih ke sumber energi yang ramah lingkungan semakin tinggi di Eropa.

Jerman menjadi salah satu contoh negara Eropa yang terus berupaya untuk meninggalkan batu bara. Negeri Panser akan memberikan bonus jika perusahaan utilitas mulai beralih dari batu bara ke alternatif energi lain yang ramah lingkungan guna mendukung langkah Jerman untuk memangkas gas rumah kaca sebesar 55% pada 2030.

Penulis : Joan Armanda Harefa
Redaktur : Aditya Firman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar